SUMBER INFORMASI DESA

Recent Posts

Nusantara Mengaji

Salah satu bentuk kepedulian Santri dalam Agenda Nasional yaitu Nusantara Mengaji

Nusantara Mengaji

Salah satu bentuk kepedulian Santri dalam Agenda Nasional yaitu Nusantara Mengaji

Nusantara Mengaji

Indahnya Kebersamaan

Nusantara Mengaji

Ngalap berkah, Tumpengan dalam acara Nusantara Mengaji

Kegiatan Isra Mi'raj

Kegiatan Isra Mi'raj di Madrasah Diniyah Roudlotul Muttaqin Desa Dero

GP ANSOR BRINGIN

Pelantikan Gerakan Pemuda Ansor PAC Bringin di pondok Pesantren Ma'rifatul Ulum

Madrasah Diniyah Roudlotul Muttaqin

Persiapan Haflah Akhirussanah PAUD dan Madrasah Diniyah Roudlotul Muttaqin Ds.Dero Kec.Bringin Kab.Ngawi

Minggu, 22 Mei 2016

TIGA GOLONGAN PENCARI ILMU

TIGA GOLONGAN PENCARI ILMU
Sedikit inspirasi yang saya ambil dari Bidayatul Hidayah, bahwa manusia di dalam proses menuntut ilmu itu terbagi menjadi tiga golongan yang wajib kita ketahui sebagai pemburu ilmu, dari sekian banyak manusia yang ada di muka bumi ini mempunyai niat atau alasan yang berbeda - beda dalam menuntut ilmu, akan tetapi pada intinya semua akan masuk dalam tiga kelompok ini, yaitu :
Pertama : Orang yang mencari ilmu dengan niat untuk menjadikannya sebagai bekal ke akhirat maka dia tidak berniat dengan mencari ilmu kecuali hanya untuk mendapat keridhaan dari Allah. Maka orang ini termasuk di dalam golongan orang yang beruntung.
Kedua : Orang yang mencari ilmu untuk mendapatkan keuntungan sesaat (dunia) dan mendapatkan kemuliaan, pangkat dan harta benda, sedangkan dia sendiri menyadari hal ini dan merasakan di dalam hatinya akan kejahatan keadaan yang sedang dialaminya dan kehinaan maksudnya. Maka orang ini adalah berada di dalam golongan yang berbahaya. Jikalau dia mati sebelum sempat bertaubat, maka dibimbangi ia akan mati dalam keadaan "su-ul khatimah" kemudian urusannya terserahlah kepada kehendak Allah (dimaafkan atau disiksa). Tetapi kalau dia mendapat taufik sebelum matinya lalu dia bertaubat dan sempat mengamalkan ilmu yang telah dituntutnya dan sempat pula membuat pembetulan terhadap apa yang terciderai dan tercuai. Maka bolehlah dia dikumpulkannya bersama golongan yang beruntung, kerana orang yang bertaubat daripada dosanya sama seperti orang yang tidak berdosa.

Minggu, 15 Mei 2016

Proses Pendidikan Berkharakter Yang Terlupakan

(Sebuah Pelajaran Berharga dr Jordania)
Hakim itu mengejutkan semua orang di ruang sidang. Ia meninggalkan tempat duduknya lalu turun untuk mencium tangan terdakwa. Terdakwa yang seorang guru SD itu juga terkejut dengan tindakan hakim. Namun sebelum berlarut-larut keterkejutan itu, sang hakim mengatakan, “Inilah hukuman yang kuberikan kepadamu, Guru.” Rupanya, terdakwa itu adalah gurunya sewaktu SD dan hingga kini ia masih mengajar SD. Ia menjadi terdakwa setelah dilaporkan oleh salah seorang wali murid, gara-gara ia memukul salah seorang siswanya. Ia tak lagi mengenali muridnya itu, namun sang hakim tahu persis bahwa pria tua yang duduk di kursi pesakitan itu adalah gurunya. Hakim yang dulu menjadi murid dari guru tsb mengerti benar, pukulan dr guru itu bukanlah kekerasan. Pukulan itu tidak menyebabkan sakit dan tidak melukai. Hanya sebuah pukulan ringan untuk membuat murid-murid mengerti akhlak dan menjadi lebih disiplin. Pukulan seperti itulah yang mengantarnya menjadi hakim seperti sekarang. Peristiwa yang terjadi di Jordania pada pekan lalu dan dimuat di salah satu surat kabar Malaysia ini sesungguhnya merupakan pelajaran berharga bagi kita semua sebagai orangtua. Meskipun kita tidak tahu persis kejadiannya secara detil, tetapi ada hikmah yang bisa kita petik bersama.
Dulu, saat kita “nakal” atau tidak disiplin, guru biasa menghukum kita. Bahkan mungkin pernah memukul kita. Saat kita mengadu kepada orangtua, mereka lalu menasehati agar kita berubah. Hampir tidak ada orang tua yang menyalahkan guru karena mereka percaya, itu adalah bagian dari proses pendidikan yang harus kita jalani. Buahnya, kita menjadi mengerti sopan santun, memahami adab, menjadi lebih disiplin. Kita tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang hormat kepada guru dan orangtua.

Jumat, 13 Mei 2016

Pendidikan Islam di Masa Penjajahan Jepang dan Belanda

Pendidikan merupakan faktor penting yang mempunyai andil besar dalam memajukan suatu bangsa, bahkan peradaban manusia. Tujuan pendidikan itu merupakan tujuan dari negara itu sendiri. Pendidikan yang rendah dan tidak berkualitas akan terus mengundang para penjajah, baik penjajahan secara fisik maupun non fisik, seperti penjajahan intelektual, pemikiran, ekonomi, sosial, politik dan agama. Hal ini senada dengan ungkapan “kebodohan bukanlah karena penjajahan tetapi kebodohanlah yang mengundang penjajah”.

Bangsa Indonesia merdeka setelah proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan ialah terbebasnya suatu bangsa dari belenggu penjajahan.karena dari awal kemerdekaan bangsa inilah suatu Bangsa yang sudah merdeka dapat leluasa mengatur laju bangsa dan pemerintahan untuk mencapai tujuan yaitu menyejahterakan masayarakat bangsa itu sendiri.
Namun setelah bangsa indonesia merdeka dan bebas dari penjajahan,Kemerdekaan tidak sepenuhnya menyelesaikan berbagai persoalan negara. Kemerdekaan politik sesudah masa penjajahan oleh pemerintah Jepang dan Belanda itu lebih mudah dicapai dibandingkan dengan rekonstruksi kultural masyarakat dan renovasi system pendidikan kita, khususnya pendidikan Islam karena tekanan psikologi yang dialami ketika penjajahan saat itu.
Mengamati perjalanan sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang sungguh menarik dan memiliki proses yang amat panjang. Belanda yang menduduki Indonesia selama 3 ½ abad dan Jepang selama 3 1/ 2 tahun meninggalkan kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah. Dengan misi gold, glory dan gospelnya mereka mempengaruhi pemikiran dan iedeologi dengan doktrin-doktrin Barat. Akan tetapi kita sepatutnya bangga dengan perjuangan para tokoh Muslim pada masa itu yang berupaya sekuat tenaga untuk mengajarkan Islam dengan cara mendirikan lembaga – lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren, majlis taklim dan sebagainya. Dari lembaga inilah kemudian lahir tokoh- tokoh muslim yang berperan besar dalam mewujudkan kemerdekaan dan membela risalah Islam. Materi yang dipelajari menggunakan referensi dan kitab-kitab kuning berbahasa Arab seperti safinah, Bulughul Marom, dan sebagainya selain itu ilmu jiwa, ilmu hitung pun dipelajari. Pada saat itu disamping menuntut ilmu mereka harus berjuang melawan penjajah.
Itulah sekilas tentang pendidikan Islam pada zaman penjajahan Belanda dan  Jepang. Setelah merdeka, bangsa Indonesia merasa mampu menghirup angin segar di negerinya sendiri karena telah terlepas dari penjajahan. Akan tetapi, sikap, watak dan mental bangsa yang terjajah akan menjadi kendala tersendiri bagi perkembangan negara, khususnya pendidikan Islam di Indonesia.
Pendidikan Islam pada masa Kemerdekaan ini dapat kita bagi menjadi beberapa periode:
1.      Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
2.      Pendidikan Islam Pada Masa Orde Bar
3.      Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi
4.      Pendidikan Islam Masa depan
Seiring dengan perkembangan zaman, persoalan yang dihadapi pun semakin bertambah seperti sistem pendidikan yang sesuai dengan tujuan, visi dan misi negara itu. Masuknya pemikiran-pemikiran barat yang secara tidak langsung meracuni pemikiran-pemikiran Islam dan berbagai krisis yang melanda negeri ini menjadi bagian dari polemik dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam saat ini.

Kamis, 12 Mei 2016

Membendung Konsep Khilafah Ala Gus Mus

K.H. Mustafa Bisri ( Gus Mus )  Pemimpin Pesantren Raudlatuth Tholibin Rembang Jawa Tengah

Bagaimana pendapat Kyai tentang isu khilafah yg makin marak ini?
Menurut Islam, sistem khilafah atau khilafah Islamiyyah itu tidak memiliki dasar. Yang ada khilafah Rosidah terjadi sesudah Nabi Muhammad. Ada kholifah Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khotthob, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib atau yang dikenal Khulafaur Rosyidin. Setelah itu ada khilafah Umamiyyah, dinasti umayyah. Setelah itu di nasti umayyah Mojopahit, Brawijaya 1 brawijaya 2, Mataram. Habis itu dinasti Abasiyyah. Jadi Khilafah itu, khilafah Rosidah, khilfah Umamiyyah, khilafah Abaiyyah, khilafah Usmaniyyah. Sekarang khilafah mana yang dikehendaki pengajak khilafah itu? Pemerintahan itu kalau adil ya Islami. Di  Abbasyah (sekarang Etiopia), jaman Nabi Muhammad, kepala negaranya seorang nasrani tapi walaupun demikian oleh Nabi Muhammad dihormati. Para shahabat nabi yang hijrah disana juga mendapat perlindungan. Tampaknya konsep khilafah itu kian mendapat sambutan dari masyarakat terutama anak muda? Karakter manusia itu memang suka terhadap hal yang baru, sementara yang lama dan sudah mapan dilihatnya biasa-biasa saja. Misalnya saja NU dan Muhammadiyah. Karena merasa sudah mapan NU dan Muhammadiyah sekarang ini tinggal ngantuknya saja. Munculnya gerakan baru (pengajak khilafah) lalu dilihat sebagai sesuatu yang baru. Apalagi gerakan itu banyak menawarkan kegiatan. Inilah yang memikat anak-anak muda tanpa melihat isinya benar atau salah.

Menyikapi fenomena ini tentu kita harus kembali ke basik kita sendiri. Menawarkan banyak kegiatan untuk menyalurkan semangat anak muda. Sebab anak muda itu cenderung bergerak dinamis, tak bisa diam. Walaupun misalnya, gerakan itu telah benar-benar menyusup ke NU dan Muhamadiyyah bahkan ke MUI? Katakanlah mereka benar telah menyusup itu berarti diri kita ini lemah. Dan solusinya kita harus memperbaiki diri sendiri. Biasakan melihat (koreksi) diri sendiri dan tidak perlu menyalahkan orang lain. Misalnya, kenapa “warung” (NU) sekarang pelanggannya menurun dan berpindah ke warung lain. Padahal warung lain itu masakannya hanya itu-itu saja. Kita tidak boleh mengatakan warung lain itu jahat apalagi sampai mengundang polisi untuk menutupnya. Kalau mau kembali ke basik kita seperti dulu, nanti akan terbukti warung kita jauh lebih bagus dengan menu masakan yang lebih banyak. Jika setiap saat hanya mengurusi mereka (pengajak khilafah) wahh ..kacau kita, yang rugi kita sendiri. NU dan Muhamadiyyah itu yang terbesar, NU bahkan terbesar di dunia. Kalau hanya mengurusi kelompok sekelas itu kan rugi. Membentengi pengaruh-pengaruhnya hanya akan membuang energi saja. Mending ngurus diri sendiri, kembali ke basik perjuangan kita yang pertama. Seperti apa? 70 tahun lalu Hadrotush Syeik Hasyim Asy’ari menulis surat kepada kyai-kyai, yang kemudian diambil alih oleh pengurus besar untuk dikirim ke cabang-cabang. NU terbukti diminati masyarakat, karena mereka merasa mendapat manfaat. Kalau NU tidak memberi manfaat maka umat tidak akan berminat lagi. Perlu diketahui, mereka itu (pengajak khilafah) sebenarnya meniru semua model kita. Misalnya kegiatan Lailatul Ijtimak, sekarang di NU tidak ada tapi oleh mereka digunakan setiap malam. Jadi NU tidak ada penanganan khusus membentengi ancaman kelompok tersebut dan lebih bersikap introspeksi diri ? Ndak. Maksudnya jangan berfikir kesana tapi berfikir ke sini. Berpikir terhadap warung sendiri bukan milik orang lain. Anda akan mencari cara apa untuk membentengi mereka, kalau kita sendiri lemah. Gimana?. Misalnya ada kebocoran menembus warung kita. Yang kita pikirkan adalah dimana bagian dinding warung rumah kita yang bocor. Permasalahannya justru ada pada diri kita sendiri, tidak perlu menyalahkan orang lain. Perkara air (paham) mereka biarkan saja mengalir kemana-mana, asal tembok kita kuat kan tidak apa-apa. Pemikiran khilafah itu tidak berdasar. Mereka hanya benci Amerika yang dianggap menjadi biang keonaran dunia. Satu-satunya cara melawan, menurut mereka, menjadikan umat Islam seluruh dunia bersatu mendirikan kekholifahan untuk melawan Amerika. Maksudnya kan begitu. Tapi langkah itu tidak riel. Andai saja bisa berdiri, lalu siapa yang menjadi kholifahnya. Arab saja tidak bisa kok. Dulu pernah ada yang datang kesini membawa brosur dan segala macam. Saya tanya apa tujuannya. Katanya mempersatukan Islam. Waktu itu saya bilang sambil tertawa, lho sampeyan ini gimana, mau mempersatukan Islam kok malah bikin lagi. Tak kasih tahu, kalau ingin mempersatukan umat Islam itu mudah, temui saja pimpinan-pimpinan organisasi Islam itu, masing-masing suruh bubarkan organisasinya. Hari ini di bubarkan besok jadi satu. Kalau bikin lagi namanya tidak bersatu tapi tambah banyak. Masing-masing golongan bangga dengan golongannya sendiri, seolah-olah bisa mempersatukan dunia. 
 
Sebenarnya hubungan antara imam dengan umat itu ada, seperti tanya jawab, musyawarah, pelajaran kitab, jamaah tahlil, sembahyang ghoib bahkan ada yang menyantuni saudara-saudara kita yang lemah. Semua sudah kita lakukan. Bukankah hal ini sebenarnya sudah bukan sekedar persoalan kelompok NU atau Muhammadiyah tapi sudah mengancam NKRI? Sama saja. Kalau kita baik, seperti dulu, bangsa mendapat barokah yang luar biasa. Kenapa sekarang tidak. Saya lebih suka instropeksi diri dari pada menyalahkan orang lain. Jaman kemerdekaan atau jaman apa saja. Anda sendiri melihat pemerintah menyikapi hal ini seperti apa? Pancasila dan UUD’45 dikatakan harom? Ya tanyakan pada pemerintah. Kalau masih ingin menjaga NKRI kita harus bertanya, benarkah kita berjuang untuk negara ini atau tidak. Seperti mengejar layang-layang putus, kalau ada masalah baru kelabakan. Ketika kuat seperti dulu, pemerintah yang bertanya kepada kita, bahkan pemerintah Jepang dulu bertanya kepada Kyai Hasyim As’ari, siapa yang paling pantas menjadi presiden. Sebetulnya Kyai Hasim itu layak, tapi hebatnya beliau tidak berfikir untuk diri sendiri seperti kebanyakan orang, tidak menunjuk putranya tapi malah menunjuk Soekarno. Pada jaman penjajahan Belanda, Hadotush syeik juga mengeluarkan fatwa jihad. NU dalam muktamarnya memutuskan bahwa Soekarno lah yang layak menjadi presiden. Ini sikap politik kebangsaan NU untuk kepentingan NKRI. Mengapa pemerintah sekarang ini tidak mendengarkan NU sebab dengan FPI (Front Pembela Islam-red) suaranya kalah jauh. Sebagian ulama’ mengatakan, kelompok ini hanya menggunakan kedok agama dengan dalil-dalinya untuk tujuan politik. Tanggapannya? Di negara asalnya Yordania, kelompok ini dilarang dan tidak ada negara lain yang menerima hanya Indonesia. Organisasi terbesar NU tidak mendukung dan sepertinya Muhammadiyah juga tidak. Pemerintah harusnya percaya dan minta fatwa kepada kita tapi nyatanya kan tidak. Nah menurut saya, lagi-lagi kita harus koreksi terhadap diri sendiri. Kalau terus menerus sibuk mengurus pekerjaan kecil, kita ini lama-lama akan terkesan kecil. Saya ingin supaya kita kembali menjadi jam’iyyah yang punya wibawa, posisi yang betul-betul diperhitungkan. Belum tegaknya keadilan, kesejahteraan rakyat masih terabaikan, ini yang harus diprioritaskan. Sebenarnya mudah sekali mematahkan dalil, hujjah mereka. Tapi tanpa dibarengi perbaikan terhadap diri sendiri secara inten tetap saja sia-sia. Mereka tidak akan mendengarkan kita. Apakah dikira kalau benar mereka lalu mau mendengarkan suara kita. Mereka hanya mendengarkan dirinya sendiri. Maksudnya memperbaiki diri itu sepeti apa? Lha kita tinggal kembali kepada basik kita, Kita pelajari apa yang telah dilakukan pendahulu kita. Perhatiannya terhadap Indonesia jelas sekali, dibaca oleh semua orang. Seperti soal dakwah. Dulu Wali Songo bisa mendakwahi orang jawa sampai sekian banyaknya, padahal dulu mayoritas Hindu dan Budha. Semua untuk Indonesia. Masyarakat dan orang-orang kecil dulu diperhatikan. Sekarang ini bagaimana kita ? Dulu NU tegas menjaga NKRI seperti fatwa jihad melawan penjajah, memilih Soekarno menjadi presiden, menerima asas pancasila dan UUD’ 45. Itu namanya politik kebangsaan. Dulu NU juga selalu mendampingi, mengayomi rakyat. Kalau rakyat geger dengan pengusaha, ditindas penguasa, NU selalu membela. Selain itu, para kyai membuat lembaga-lembaga untuk membantu pedagang kecil meningkatkan kesejahteraannya. Maka kalau analognya dengan warung, masihkan kita menggunakan resep dulu, ramah menghadapi pembeli dan masihkan kita menjaga kebersihan makanan kita, hal-hal seperti itulah menurut saya mendesak Logika saya mengatakan, Indonesia ini terpuruk atau tidak tergantung umat Islam karena mayoritas. Dan Islam Indonesia tergantung NU karena jumlahnya terbesar.
Sumber asli Klik Tautan Berikut ini : http://www.binaaswaja.com/2013/06/membendung-konsep-khilafah-ala-gus-mus/

Jenis - Jenis Jomblo

Jomblo dalam versi santri yang menggali hakekat jomblo dengan ilmu nahwunya:
1. JOMBLO MABNI
Jenis ini termasuk yang paling memprihatinkan. Bagaimana tidak, mereka belum pernah sama sekali merasakan nikmatnya jatuh cinta. Tapi jenis yg satu ini layak untuk mendapatkan apresiasi, karena di kehidupannya selalu fokus akan yg namanya tembelan, lalaran, syawir, roan, dsb. Dengan kata lain jenis ini berada pada maqom "Ghoyatussidqi fil ibadah"
2. JOMBLO MUSTATIR
Jenis ini bak sniper yg selalu mengintai pujaan hatinya, karna belum ada keberanian untuk menyatakan cinta. Keberadaannya seperti wali yg sulit untuk di ketahui oleh santri putri. Lalu bagaimana mengetahuinya ? Wallahu 'alam karena la ya’lamul jomblo ilal jomblo (tidak ada yg dapat tau bhwa dia itu jomblo, kecuali jomblo juga).
3. JOMBLO MUNQATI'
Kalau yg satu ini memiliki jiwa ikhtiar yg sangat mumpuni. Mereka cukup anarkis dalam hal menyatakan cinta, tpi ada satu hal yg selalu membuat mereka murung bagaikan seekor kucing warung yg habis di siram air. Iyaaa, "KEGAGALAN" selalu menghantuinya dan mnjdi faktor yg membuat mereka murung.
4. JOMBLO RAFA'
Hampir sama seperti jenis sblmnya yg cukup mempunyai ikhtiaristik yg mumpuni, tapi juga selalu gagal. Karena jenis ini memiliki kriteria yg "SANGAT TINGGI" dalam menentukan pilihan yg tdak sekufu dngn dirinya, contoh kecil bhwa jenis ini suka dengan ning lah (red:anak kyai), santri putri tpi anak kyai besar lah, mbok-mbok pecel lah, meril lah, dsb.
5. SYIBHUL JOMBLO
Makhluk yg satu ini sangat low profile, tidak pernah mengakui kejombloannya karena tidak peduli dengan semua itu. Tapi jenis yg satu ini slalu mnjdi tranding topic di tengah2 santri putri karena ketampanannya, kecerdasaanya, keshalehannya, dsb.